Seorang guru jangan sampai membawa masalah yang ada di rumahnya ke sekolah. Itu sungguh tidak baik. Ungkapan lama itu kiranya masih relevan hingga kini. Dan barangkali akan terus relevan sepanjang masa. Kalau memungkinkah, bawalah limpahan kebahagiaan dari rumah saat berangkat ke sekolah untuk dibagi-bagikan kepada para siswa.Kesimpulan itu mencuat pada seminar sehari di ruang Tut Wuri Handayani, gedung SMKN 1 Singaraja pada 21 April 2016. Tampil sebagai pembicara tunggal pada seminar itu adalah Abimanyu Kaul, pakar pendidikan internasional asal Kanada kelahiran India. Seminar itu mengusung tema: “Pendidikan Karakter Berlandaskan Nilai-nilai Kemanusiaan”. Peserta seminar sekitar 150 orang. Para peserta adalah para pendidik alias guru-guru. Seminar dibuka secara resmi oleh Kabid Dikmen Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng Made Sedana, M.Pd.
Abimanyu adalah seorang penasehat dan konsultan menteri pendidikan di negaranya dan juga di beberapa negara lain, selain Kanada. Menjawab pertanyaan seorang peserta seminar, Abimanyu mengatakan, menampar dan memarahi dengan penuh emosional kepada siswa tidak dapat dibenarkan menurut norma atau standar internasional. “Tetapi mengekspresikan kemarahan secara terkendali dapat dibenarkan. Sebab, ekspresi kemarahan termasuk instrumen pendidikan,” katanya. Ekspresi kemarahan itu antara lain berupa tindakan mengeluarkan siswa tersebut dari kelas atau mengisolasi di suatu tempat, jika tersedia ruangan seperti itu. Sebutlah ruang itu, kalau ada, sebagai ruang hening. Maksudnya, agar siswa dapat merenungkan dirinya, mengapa ia ditempatkan di ruang itu.
Tegasnya, marah itu memang dibenarkan. Tetapi diluapkan secara emosional, seperti menampar siswa, tidak dapat ditolelir. Hal itu berbahaya. Karena hal itu dapat merusak mental generasi muda. Dan jika itu sampai terjadi, maka akan sangat sulit memulihkan suasana agar normal seperti semula. Seorang guru harus dapat menempatkan posisinya secara pas. Seorang guru dibolehkan dekat dengan beberapa/semua siswa. Akan tetapi jangan tergelincir menjadi hubungan pertemanan. Seorang guru kadang-kadang perlu memperlihatkan sikap sebagai seorang teman kepada siswanya dalam situasi tertentu, tetapi bukan menjadikan siswa itu sebagai teman. Setiap guru harus menjaga otoritasnya agar ia dapat mengendalikan kelas. Jika seorang guru senantiasa merasa gembira, maka 50% pekerjaan telah rampung sebelum memulai mengajar. Lima puluh persen sisanya dapat diselesaikan melalui penjelasan yang harus disampaikan seorang guru di depan kelas. “Kalau Anda lelah, kalau kebahagiaan Anda sedang drop, maka siswalah yang akan mengambil alih kendali di kelas,” tegasnya. Karena itu, hindari mengajar dalam kondisi yang demikian itu. Pastikan seorang guru bila akan mengajar masih memiliki semangat tinggi serta selalu ikhlas dalam proses mentransfer ilmu. Kepada para guru juga diingatkan bahwa peserta didik atau generasi muda adalah individu-individu yang unik dan memiliki mulitpotensi. Mereka jangan dituntun harus pintar dalam pelajaran Matematika atau Bahasa Inggris semata. Sadarilah bahwa kehidupan kita sangat variatif. Seorang calon seniman mungkin saja dapat hidup tanpa harus pintar Matematika. Ada banyak profesi lain yang tidak mempersyaratkan harus pintar pada kedua mata pelajaran tersebut. Yang penting untuk ditanamkan kepada siswa adalah menumbuhkan karakter yang baik. (mm)