Kemerdekaan dan kepahlawanan adalah dua kata yang berbeda, baik dilihat dari bunyi maupun maknanya. Tetapi, dalam konteks Indonesia, keduanya saling berhubungan. Tanpa perjuangan para pahlawan, bagaimana mungkin Indonesia bisa merdeka. Dengan demikian, kedua kata tersebut memiliki hubungan yang begitu kuat. Pada tanggal 17 Agustus 2021 ini, Kemerdekaan Indonesia memasuki usia 76 tahun sejak bangsa ini memproklamirkan diri. Tentu saja, di bulan kemerdekaan ini, sejumlah orang dari kita ingin mengetahui, adakah para pejuang di masa lalu yang masih hidup hingga kini? Jawabnya, tentu saja ada.
Terkait dengan itu, WW berhasil menemui seorang pejuang yang beralamat di Dusun/Banjar Tegal Sari, Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula. Sekitar 20 km menuju arah timur dari Singaraja. Namanya Gusti Made Jelantik. Ia mengaku telah berusia 97 tahun, atau tahun kelahirannya sekitar Saat Indonesia memerdekakan diri ia telah berusia 21 tahun. Usia remaja yang sudah matang. Namun demikian, karena dilahirkan dalam masa penjajahan, Jelantik muda tidak pernah bersekolah. “Saya ini bukan veteran, apalagi pahlawan. Hanya pernah dua kali ikut melakukan perlawanan katika Belanda mau menjajah kembali Indonesia,” demikian dikatakan Jelantik saat diwawancarai pada hari Minggu, 15 Agustus 2021, di rumahnya. Ya, pada tahun 1946, masyarakat yang ada di wilayah Kecamatan Tejakula bersama-sama masyarakat Bondalem melakukan pencegatan pasukan Belanda di perbatasan Desa Bondalem. Bentrokan dengan Belanda berlangsung selama dua hari. Dengan korban jiwa di pihak masyarakat sekitar 30 orang. “Dari 30 orang yang gugur itu, 8 orang merupakan keluarga kami,” katanya. Yang menakjubkan pada diri Jelantik adalah fisiknya. Meski sudah memasuki usia 97 tahun ia relatif tidak mengalami masalah dalam hal kesehatan. Mata dan telinganya masih berfungsi dengan baik. Satu-satunya keluhan yang dirasakan adalah di bagian lututnya, yang bila berjalan sekitar 100 meter saja, akan dirasakan sakit.
Karena itu, meskipun tidak terkena Covid-19, ia seolah menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumahnya. Karena kesehariannya lebih banyak waktunya dihabiskan di rumahnya. “Sampai umur sekarang ini, seingat saya, saya belum pernah sakit. Apalagi sampai menjalani opname di rumah sakit,” katanya dengan percaya diri. Ketika dikejar, apa rahasianya bisa hidup sehat sampai usia tua? Sambil berkelekar ia mengatakan, jalani hidup ini dengan tenang dan damai. Jangan mengejar sesuatu di luar kemampuan. Sebab, bila seseorang memasang target tinggi, apalagi muluk-muluk, maka itu sama saja artinya mengundang stres. Jika stres menghampiri hidup seseorang, ujarnya lebih lanjut, bagaimana mungkin menemukan ketenangan dan kedamaian hidup? Gusti Jelantik mengaku masih bersaudara dengan Hartawan Mataram, mantan Bupati Buleleng periode silam. “Selain saudara, beliau adalah pemimpin kami saat bertempur melawan Belanda.
Pak Hartawan bersama anak buahnya melanjutkan perjuangannya secara bergrilya sampai Belanda mengakui sepenuhnya kemerdekaan Indonesia. Mereka keluar-masuk hutan. Tetapi saya tidak ikut. Saya hanya ikut bertempur saat mencegat pasukan Belanda di perbatasan desa,” tuturnya dengan jujur. Karena menyadari partisipasinya dalam berjuang relatif kecil, ia tidak menuntut pemerintah agar mengakui dirinya sebagai veteran. Cukuplah bahwa perjuangannya dulu itu dicatat sebagai bukti bahwa ia cinta Tanah Air, cinta Indonesia. Apa senjata pasukan rakyat saat mencegat pasukan Belanda? Dijelaskan bahwa pasukan kita hanya berbekal batu dan bambu runcing. Dirinya sendiri pada saat pencegatan itu hanya membawa batu untuk melempar pasukan musuh yang bersenjatakan lengkap. Jika lemparannya itu mengenai musuh, dipastikan tidak akan me nimbulkan kematian. Paling mungkin adalah membuat musuh pingsan atau bagian badan yang terkena jadi terluka. “Tapi entah mengapa saya kok berani sekali mendekati musuh yang bersejatakan senapan api. Saya pernah ditembak musuh, namun beruntung tidak kena. Pak Hartawan memberi komando saya dan pasukan lainnya untuk mundur. Bila tidak mundur, mungkin saya kena tembak,” katanya mengenang.
Bapak tiga orang anak itu mengaku hidupnya sebagian besar diliputi penderitaan. Karena dilahirkan semasa belum merdeka, tentu keadaan serba sulit. Dalam hal makan sangat tergantung dengan kemurahan alam. Jika panen pertanian terbilang sukses, masyarakat Bondalem dan sekitarnya akan tampak lebih sehat. Namun jika gagal, badan akan sedikit kurus karena persediaan makanan terbatas. Penderitaan paling berat dirasakan saat penjajahan Jepang. Mengapa demikian? Karena pada waktu Jepang
menjajah Indonesia, hasil pertanian dibawa ke luar (negeri).
Selain padi dan palawija, Jepang juga memaksa rakyat untuk menanam kapas. Semua hasil pertanian itu lalu dibeli Jepang dengan harga murah. Ongkosnya hanya sekadar untuk bertahan hidup. Makanan pokok rakyat, kata Jelantik, tidak boleh berbahan beras. Karena beras termasuk makanan untuk bangsa penjajah. “Yang kami makan hanya cacah, olahan singkong. Untungnya sayur-sayuran selalu tersedia. Sehingga pada waktu itu kami masih bisa membuat masakan khas di sini yang bernama mengguh,” ucapnya. Ya, mengguh adalah semacam bubur. Bohon pokoknya adalah tepung atau beras, jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan lain-lain. Bagaimana saat penjajahan Belanda? Ketika Belanda berkuasa, katanya, keadaan memang sulit juga.
Tetapi Belanda sebetulnya lebih lunak. Rakyat diberi kebebasan, baik dalam aktivitas maupun mengolah kebun atau pertanian. Lebih lanjut ia bercerita, setelah Indonesia merdeka, penderitaan rakyat rupanya belum berakhir. Di Bali, Gunung Agung meletus tahun Kemudian disusul dengan prahara nasional berupa pemberontakan G/30S PKI pada tahun 1965. Keadaan itu menyebabkan rakyat terus berselimutkan penderitaan tak berkesudahan. Baru selepas tahun tahun 1970-an diakui sebagai keadaan berangsur mulai normal oleh Gusti Jelantik. Saat ini ia akui sebagai masa-masa bahagia. Karena soal makanan untuk kebutuhan hidup masyarakat dirasakan sangat tersedia. Akan tetapi bila ada masyarakat yang masih merasa susah, itu umumnya disebabkan karena drinya sendiri.
Karena dewasa ini banyak masyarakat memasang target yang tinggi, di luar jangkauan dan kemampuannya. Sebagai akibatnya mereka akan menanggung beban melebihi kapasitas. Stres pun menghampiri, sehingga berbagai penyakit mudah datang. Dulu, Jelantik adalah pekerja keras. Ia terbiasa berjalan kaki dari desanya ke Kintamani atau setidaknya sampai di Desa Tajun pergi-pulang untuk berjualan garam. Garam ia beli dari penduduk desa tetangganya, Tejakula. Pulangnya ia membawa hasil pertanian yang ada di pegunungan unuk dijual lagi di desanya. Begitulah pola interaksi dan perdagangan yang dapat dilakukan saat itu. Sangat sederhana dan mungkin bisa dikatakan primitif karena alat transportasi dan jalan belum sebaik sekarang.
Masyarakat di pegunungan sangat membutuhkan garam untuk kebutuhan dapur, sementara masyarakat dekat pantai akan membutuhkan kopi untuk menghangatkan dan menggairahkan hidupnya. Peluang itulah yang digarap sebagai mata pencahariannya. Sebagai penyambung hidupnya. Apa mungkin karena menempuh perjalanan jauh dengan jalan kaki itu menyebabkan Gusti Jelantik dapat melewatkan usianya sampai menjelang 100 tahun dengan sehat? Entahlah. Yang jelas, Gusti Made Jelantik adalah kakek dari Kadek Agus Jaya Prahyuna, M.Pd. Karena Gusti Jelantik adalah ayah dari ibunya. Ya, Pak Agus yang guru bahasa Inggris itu memang berasal dari Bondalem.
Salam merdeka! (Tim WW)
Discussion about this post